Opini________________________________________
Perbudakan (dalam) Rupa Topeng
(Oleh : Ria Sitorus)
*
Ada
kegetiran yang menggetarkan dada, memilukan jiwa, saat penulis membaca sebuah “jeritan”
seorang buruh yang ditulisnya dalam opini bertajuk “Ini Bukan Soal Duit, tapi Keadilan” (ANALISA/04/05/2013).
Jeritan itu sangat menggugah nurani (manusia), entah bagi mereka yang nuraninya
telah mati atau barangkali telah ‘digadaikan’
kepada pemilik saham asing, para pengusaha dan penguasa.
“Perbudakan telah kembali dalam
rupa topeng”, inilah yang terpikirkan oleh penulis saat menyimak
dalam-dalam opini yang ditulis oleh Saudari Mory Yana Gultom (seperti penulis
sebutkan di atas). Mory berangkat dari fenomena ‘May Day’ yang selalu
diwarnai oleh aksi-aksi demo buruh di seluruh wilayah kepulauan Indonesia,
bahkan di seluruh dunia. Dalam aksi-aksi demo para buruh tersebut, mereka
menuntut; ketidakadilan bagi kaum buruh, harapan, keluhan, ketidak-setujuan, tuntutan,
bahkan pemaksaan kepada pihak tertentu.
Dengan jelas, Mory membuat rincian,
mengapa buruh menolak upah murah, sebab tidak sebanding lagi dengan pengeluaran
absolut. Mory juga coba membuat analogi yang sesederhana mungkin. Bagaimana jika
seorang buruh diupah kurang dari 1 juta per bulan; bekerja di sebuah perusahaan
dengan jam kerja lebih dari 8 jam; jarak tempuh jauh yang mengharuskan si buruh
naik angkutan umum dengan tarif normal Rp.6.000; (belum termasuk jika harus
naik angkot bersambung); rata-rata biaya makan per hari sekitar Rp.24.000; berarti
total pengeluaran per hari Rp.30.000; Bisa dikalikan sendiri berapa per bulan,
demikianlah Mory menggambarkan.
Nah..itu baru untuk dua jenis
kebutuhan saja, ongkos dan biaya makan. Belum lagi untuk kebutuhan yang
lain-lain. Dan bagaimana dengan anak-istrinya. Bisa kita bayangkan jika si
buruh tersebut adalah seorang ayah dari 4 orang anak, dengan istri yang tidak
bekerja. Perhitungan tadi masih dalam perhitungan kasar dalam tarif normal,
belum lagi jika harga BBM dinaikkan lagi oleh mereka para pemangku kekuasaan. Bagaimana
imbasnya terhadap segala aspek kehidupan?
“Ya...benar
sekali,” bhatin penulis sepanjang menyimak opini yang ditulis oleh Saudari
Mory Yana Gultom itu.
“Hei..saudara-saudaraku, bukankah
ini sama dengan sistem perbudakan di masa silam?” Dimana buruh dipaksa dan
terpaksa bekerja keras dengan mengharap belas kasihan dari para pengusaha dan
penguasa, meski sesungguhnya para penguasa dan penguasa itu lebih mirip robot,
sebab nurani mereka tak lagi hidup sebagaimana hakikat nurani manusia yang
sesungguhnya manusia.
Sebab mereka telah menjelma
robot-robot raksasa yang kejam dan keji, lalu mereka berpikir seolah-olah para
karyawan dan buruh-buruh di pabrik atau perusahaan mereka dianggap sebagai
robot juga, sebab itu merupakan cerminan diri mereka. Tapi, seandainya pun
mereka manganggap para buruh sebagai robot, bukankah seharusnya mereka
memikirkan ‘cost’ untuk listrik dan
program-program komputer bagaimana supaya robot itu bisa beroperasi?!
Aneh memang, penulis juga agak sulit
menginterpretasikan bagaimana sesungguhnya pemikiran para pengusaha itu
terhadap para buruh yang mereka pekerjakan. Tapi bukankah sesungguhnya ‘balance’ –buruh butuh perusahaan; dan
perusahaan juga butuh buruh untuk menjalankan operasional di perusahaan
tersebut. Bukankah kalau tidak ada buruh/pekerja/karyawan atau apa pun namanya,
sebuah perusahaan tidak akan bisa beroperasi dan dioperasionalkan. Apa mungkin
sebuah perusahaan bisa beroperasi tanpa ada pekerja atau buruh di dalamnya? Mungkin
saja bisa, tetapi itu hanya ada dalam dongeng mistik dan itu mustahil dalam
kehidupan nyata. Kita manusia masih hidup di dunia dan menjejak di lapisan
kulit bumi. Bukan kehidupan dunia lain yang bisa dengan kekuatan gaib dan
magic.
Kaum borjuis tidak akan pernah ada
jika tidak ada kaum buruh; seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan,
sama halnya dengan dualisme hidup dan mati. Kita tidak bisa hidup selamanya,
atau memilih mati selamanya.
Sementara itu di halaman lain (ANALISA/04/05/2013),
penulis menemukan sebuah potret kejamnya kehidupan. Sebuah berita dalam foto; “260.000 Jiwa Melayang Akibat Kelaparan di
Somalia.” Apakah di Indonesia yang katanya ; “Kolamnya susu, tanahnya emas,”
ini akan mengalami hal serupa dengan kelaparan yang terjadi di Mongolia? Bukan
tidak mungkin—jika vampir-vampir, drakula, parasit (koruptor) terus dipelihara
di negara ini.
Anehnya, ada sebuah berita yang
paling mengejutkan penulis, ternyata benar bahwa masih ada praktik perbudakan
nyata yang terjadi di negeri ini. Seperti dilansir dalam Harian Media
Indonesia (Minggu, 05/05/2013) “Praktik
Perbudakan...” (halm.4) yang mengisahkan kasus Juki Irawan (41 thn), warga
Jalan Raya Bayur Ropak, RT 3/6, Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang, seorang
pengusaha kuali dan penggorengan yang menyekap 34 orang karyawannya. Dan bukan
hanya itu, para karyawannya pun diperlakukan sangat tidak manusiawi.
Menurut pengakuan seorang pekerja
yang berhasil lolos dari dekapan si pengusaha, begitu mereka masuk kerja home industri itu, seluruh barang mereka
seperti hp dan pakaian disita. Juki Irawan mengaku itu demi keamanan
barang-barang tersebut. Jadi selama
bekerja di sana, mereka hanya menggunakan sepasang pakaian yang cuci-kering.
Mandi pun mereka dengan sabun colek. Lalu setelah usai kerja dari pkl.06 s/d
20.00 wib, mereka dimasukkan ke sebuah ruangan pengap yang hanya berukuran 3 x
6 meter dan dikunci dari luar.
Penulis berpikir, jangan-jangan Juki
Irawan ini sejenis ‘binatang buas’ yang menyerupai rupa manusia. Atau
barangkali dia adalah sisa-sisa keturunan geneologi Jepang yang pernah menjajah
Indonesia dan melakukan praktik perbudakan yang sangat keji dalam sejarah masa
lalu yang suram.
Mengapa Juki Irawan bisa melakukan
itu terhadap 34 anak manusia? Bahkan seperti dijelaskan oleh saudari Sumantri
dalam rilis beritanya, ketika pemantauan ke TKP, pabrik yang menempel di rumah
mewah milik Juki itu tarlihat sangat sepi. Tak satu pun petugas yang tampak di
sana, meskipun tempat usaha itu sudah dipasangi garis polisi. Para tetangga
Juki pun lebih memilih menutup mulut. Apa apa sebenarnya ini? Mengapa bisa
terjadi hal seperti ini? Apa yang menyebabkan para tetangga itu memilih tutup
mulut? Ada apa di balik semua ini? Mengapa juga polisi setempat seolah tidak
peduli terhadap kasus ini?
Para buruh yang berasal dari Lampung
itu bekerja keras dari jam 06.00 s/d 20.00 wib dengan dijanjikan gaji
Rp.600.000; per bulan. Meski selanjutnya para pekerja yang telah berhasil
dikeluarkan dari dekapan si pengusaha itu mengaku, gaji mereka belum dibayar
beberapa bulan ini.
(*)
ANALISA/Sabtu, 11 Mei 2013
(http://www.analisadaily.net/news/2013/15534/perbudakan-dalam-rupa-topeng/)
 |
(Foto Ilustrasi/ANALISA) |
|