Senin, 09 Juni 2014

Menguasai sebelum Dikuasai


Menguasai sebelum dikuasai
 (Oleh : Ria Sitorus)

            Di era cyber-space ini, Situs Jejaring Sosial memang seolah menjadi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Jejaring Sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Google+, MySpace, Badoo, Zorpia, YM, Weibo, Linkedlin, dll, kini mampu menembus batas: ruang dan waktu, daerah, ras, golongan, usia, etnis, agama, dan menembus segala batas yang ada. Semuanya kini seolah menjadi maya.
Di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Kemenkominfo bahwa pengguna internet sudah mencapai 63 juta orang. Total 95 % menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Selamatta Sembiring juga mengatakan,  situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Dan sebagai peringkat 5 pengguna Twitter terbesar di dunia, setelah USA, Brazil, Jepang dan Inggris. (http://kominfo.go.id/)
Jejaring Sosial tentu saja mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Kuatnya pengaruh kedua dampak ini tergantung bagaimana si manusia pemakai Jejaring Sosial tersebut. Ada dua kemungkinan yang terjadi tergantung bagaimana tingkat IQ, EQ dan SQ si pengguna Jejaring Sosial. Jika tingkat IQ, EQ dan SQ si pengguna masih rendah atau di bawah rata-rata, maka yang cenderung terjadi adalah dampak negatif. Si pengguna (manusia)-nya yang malah dikuasai oleh situs Jejaring Sosial tersebut. Padahal seyogianya, sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, manusialah yang dituntut untuk menguasai IPTEK/IT, dunia digital dan semua perangkat/program yang ada di dalamnya.
Namun yang sering terjadi, khususnya di Indonesia sendiri, adalah hal yang sebaliknya. Banyak terjadi penipuan dengan modus kenalan di Jejaring Sosial bahkan berujung hingga ke penculikan, pemerkosaan, perampokan, hypnotis, bahkan pembunuhan. Berita-berita buruk semacam ini kerapkali menjadi ‘sarapan pagi’ masyarakat Indonesia yang disuguhkan lewat berbagai media massa seperti TV, koran, majalah, yahoo, google, dll.
 Dampak negatif  lain yang sering terjadi adalah maraknya kasus-kasus perselingkuhan dan kehancuran bahtera rumah tangga dan kandasnya keharmonisan keluarga oleh karena ‘godaan’ dari dunia maya ini. Diawali dari perkenalan, pertemanan hingga ke pertemuan sembunyi-sembunyi, sampai akhirnya ‘terjerat’ oleh ke-maya-an itu. Baik kaum laki-laki dan perempuan tentu punya andil yang sama dalam kasus ini. Analisis ini penulis dapatkan dari pengalaman teman-teman penulis yang telah mengalaminya.

Kamis, 27 Juni 2013

OPINI--Perbudakan (dalam) Rupa Topeng



Opini________________________________________
Perbudakan (dalam) Rupa Topeng
(Oleh : Ria Sitorus)
*
Ada kegetiran yang menggetarkan dada, memilukan jiwa, saat penulis membaca sebuah “jeritan” seorang buruh yang ditulisnya dalam opini bertajuk “Ini Bukan Soal Duit, tapi Keadilan” (ANALISA/04/05/2013). Jeritan itu sangat menggugah nurani (manusia), entah bagi mereka yang nuraninya telah mati atau barangkali telah ‘digadaikan’ kepada pemilik saham asing, para pengusaha dan penguasa.
            Perbudakan telah kembali dalam rupa topeng”, inilah yang terpikirkan oleh penulis saat menyimak dalam-dalam opini yang ditulis oleh Saudari Mory Yana Gultom (seperti penulis sebutkan di atas). Mory berangkat dari fenomena ‘May Day’ yang selalu diwarnai oleh aksi-aksi demo buruh di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Dalam aksi-aksi demo para buruh tersebut, mereka menuntut; ketidakadilan bagi kaum buruh, harapan, keluhan, ketidak-setujuan, tuntutan, bahkan pemaksaan kepada pihak tertentu.
            Dengan jelas, Mory membuat rincian, mengapa buruh menolak upah murah, sebab tidak sebanding lagi dengan pengeluaran absolut. Mory juga coba membuat analogi yang sesederhana mungkin. Bagaimana jika seorang buruh diupah kurang dari 1 juta per bulan; bekerja di sebuah perusahaan dengan jam kerja lebih dari 8 jam; jarak tempuh jauh yang mengharuskan si buruh naik angkutan umum dengan tarif normal Rp.6.000; (belum termasuk jika harus naik angkot bersambung); rata-rata biaya makan per hari sekitar Rp.24.000; berarti total pengeluaran per hari Rp.30.000; Bisa dikalikan sendiri berapa per bulan, demikianlah Mory menggambarkan.
            Nah..itu baru untuk dua jenis kebutuhan saja, ongkos dan biaya makan. Belum lagi untuk kebutuhan yang lain-lain. Dan bagaimana dengan anak-istrinya. Bisa kita bayangkan jika si buruh tersebut adalah seorang ayah dari 4 orang anak, dengan istri yang tidak bekerja. Perhitungan tadi masih dalam perhitungan kasar dalam tarif normal, belum lagi jika harga BBM dinaikkan lagi oleh mereka para pemangku kekuasaan. Bagaimana imbasnya terhadap segala aspek kehidupan?
            Ya...benar sekali,” bhatin penulis sepanjang menyimak opini yang ditulis oleh Saudari Mory Yana Gultom itu.
            “Hei..saudara-saudaraku, bukankah ini sama dengan sistem perbudakan di masa silam?” Dimana buruh dipaksa dan terpaksa bekerja keras dengan mengharap belas kasihan dari para pengusaha dan penguasa, meski sesungguhnya para penguasa dan penguasa itu lebih mirip robot, sebab nurani mereka tak lagi hidup sebagaimana hakikat nurani manusia yang sesungguhnya manusia.
            Sebab mereka telah menjelma robot-robot raksasa yang kejam dan keji, lalu mereka berpikir seolah-olah para karyawan dan buruh-buruh di pabrik atau perusahaan mereka dianggap sebagai robot juga, sebab itu merupakan cerminan diri mereka. Tapi, seandainya pun mereka manganggap para buruh sebagai robot, bukankah seharusnya mereka memikirkan ‘cost’ untuk listrik dan program-program komputer bagaimana supaya robot itu bisa beroperasi?!
            Aneh memang, penulis juga agak sulit menginterpretasikan bagaimana sesungguhnya pemikiran para pengusaha itu terhadap para buruh yang mereka pekerjakan. Tapi bukankah sesungguhnya ‘balance’ –buruh butuh perusahaan; dan perusahaan juga butuh buruh untuk menjalankan operasional di perusahaan tersebut. Bukankah kalau tidak ada buruh/pekerja/karyawan atau apa pun namanya, sebuah perusahaan tidak akan bisa beroperasi dan dioperasionalkan. Apa mungkin sebuah perusahaan bisa beroperasi tanpa ada pekerja atau buruh di dalamnya? Mungkin saja bisa, tetapi itu hanya ada dalam dongeng mistik dan itu mustahil dalam kehidupan nyata. Kita manusia masih hidup di dunia dan menjejak di lapisan kulit bumi. Bukan kehidupan dunia lain yang bisa dengan kekuatan gaib dan magic.
            Kaum borjuis tidak akan pernah ada jika tidak ada kaum buruh; seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, sama halnya dengan dualisme hidup dan mati. Kita tidak bisa hidup selamanya, atau memilih mati selamanya.
            Sementara itu di halaman lain (ANALISA/04/05/2013), penulis menemukan sebuah potret kejamnya kehidupan. Sebuah berita dalam foto; “260.000 Jiwa Melayang Akibat Kelaparan di Somalia.” Apakah di Indonesia yang katanya ; “Kolamnya susu, tanahnya emas,” ini akan mengalami hal serupa dengan kelaparan yang terjadi di Mongolia? Bukan tidak mungkin—jika vampir-vampir, drakula, parasit (koruptor) terus dipelihara di negara ini.

            Anehnya, ada sebuah berita yang paling mengejutkan penulis, ternyata benar bahwa masih ada praktik perbudakan nyata yang terjadi di negeri ini. Seperti dilansir dalam Harian Media Indonesia (Minggu, 05/05/2013) “Praktik Perbudakan...” (halm.4) yang mengisahkan kasus Juki Irawan (41 thn), warga Jalan Raya Bayur Ropak, RT 3/6, Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang, seorang pengusaha kuali dan penggorengan yang menyekap 34 orang karyawannya. Dan bukan hanya itu, para karyawannya pun diperlakukan sangat tidak manusiawi.
            Menurut pengakuan seorang pekerja yang berhasil lolos dari dekapan si pengusaha, begitu mereka masuk kerja home industri itu, seluruh barang mereka seperti hp dan pakaian disita. Juki Irawan mengaku itu demi keamanan barang-barang tersebut.  Jadi selama bekerja di sana, mereka hanya menggunakan sepasang pakaian yang cuci-kering. Mandi pun mereka dengan sabun colek. Lalu setelah usai kerja dari pkl.06 s/d 20.00 wib, mereka dimasukkan ke sebuah ruangan pengap yang hanya berukuran 3 x 6 meter dan dikunci dari luar.
            Penulis berpikir, jangan-jangan Juki Irawan ini sejenis ‘binatang buas’ yang menyerupai rupa manusia. Atau barangkali dia adalah sisa-sisa keturunan geneologi Jepang yang pernah menjajah Indonesia dan melakukan praktik perbudakan yang sangat keji dalam sejarah masa lalu yang suram.
            Mengapa Juki Irawan bisa melakukan itu terhadap 34 anak manusia? Bahkan seperti dijelaskan oleh saudari Sumantri dalam rilis beritanya, ketika pemantauan ke TKP, pabrik yang menempel di rumah mewah milik Juki itu tarlihat sangat sepi. Tak satu pun petugas yang tampak di sana, meskipun tempat usaha itu sudah dipasangi garis polisi. Para tetangga Juki pun lebih memilih menutup mulut. Apa apa sebenarnya ini? Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Apa yang menyebabkan para tetangga itu memilih tutup mulut? Ada apa di balik semua ini? Mengapa juga polisi setempat seolah tidak peduli terhadap kasus ini?
            Para buruh yang berasal dari Lampung itu bekerja keras dari jam 06.00 s/d 20.00 wib dengan dijanjikan gaji Rp.600.000; per bulan. Meski selanjutnya para pekerja yang telah berhasil dikeluarkan dari dekapan si pengusaha itu mengaku, gaji mereka belum dibayar beberapa bulan ini.

(*)
ANALISA/Sabtu, 11 Mei 2013
(http://www.analisadaily.net/news/2013/15534/perbudakan-dalam-rupa-topeng/)
 
(Foto Ilustrasi/ANALISA)


Jumat, 21 Desember 2012

Surat Untuk Omak

Rinduku pada-mu, Omak
(Oleh : Poloria Sitorus)

Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.

Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”

Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.

Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.

Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.

Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta. 

Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia. 

Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.

Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”

Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.

Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.

Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.

Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta. 

Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia. 

Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.

Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”

Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.

Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.

Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.

Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta. 

Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia. 

Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” 


Sumber : http://esensi.co.id/a-letter-to-my-mother.html?start=45


Jumat, 12 Oktober 2012

Artikel Lingkungan


(analisa/Poloria Sitorus) Terumbu karang yang telah rusak, terdampar di pesisir pantai Sialangbuah.
Oleh: Poloria Sitorus.  
PENDAHULUAN: 
Manusia merupakan makhluk penghuni bumi yang sangat tergantung pada alam dalam pemenuhan segala kebutuhan hidupnya. Sehingga manusia sangat erat hubungannya dengan lingkungannya. Dalam proses kehidupan tersebut manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga antara manusia dengan lingkungannya terjadi respon/reaksi, baik berupa respon yang positif untuk mendukung kehidupan manusia itu sendiri, maupun respon negatif yang dapat berakibat buruk terhadap kehidupan manusia.
Jika manusia memperlakukan lingkungannya dengan baik, maka seyoginya lingkungan akan memberi respon yang baik juga, namun manusia sering kali memperlakukan lingkungan dengan tidak baik dan tidak sewajarnya, hal ini didukung oleh populasi manusia yang sangat pesat dan semakin kurangnya kesadaran akan pelestarian alam dan lingkungan hidupnya.

Disebabkan adanya interaksi yang tidak baik antara manusia dengan lingkungan, akan mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan ekologi seperti kerusakan-kerusakan tanah sebagai akibat penggunaan lahan, kebakaran hutan dan kebanjiran, serta pencemaran-pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas dengan segala aktivitas dan populasi manusia yang tumbuh sangat pesat.

Rabu, 05 September 2012

Artikel Lingkungan

            Pengaruh Iklim Terhadap Tanah & Pertanian
                            (Oleh : Poloria Sitorus)

 
Pendahuluan :
Terlebih dahulu, penulis ingin memaparkan dan menjelaskan beberapa pengertian yang perlu kita pahami secara mendasar karena akan sangat membantu proses pemahaman kita untuk selanjutnya mengkaji bagaimana sesungguhnya “Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman”. Cuaca adalah keadaan suhu rata-rata udara pada suatu daerah/wilayah yang relatif sempit dan dapat berubah-ubah dalam jangka waktu yang sangat singkat, antara 1 hingga 24 jam. Sedangkan defenisi Iklim adalah kondisi atau keadaan rata-rata cuaca dalam cakupan wilayah yang relatif luas dan perubahannya dalam jangka waktu yang lama, yaitu berkisar antara 11 tahun hingga 30 tahun.
Klimatologi dan Meteorologi sangat erat hubungannya, bahkan kadang-kadang dianggap sama, dimana Meteorologi atau Cuaca menekankan pada proses-proses fisika yang terjadi di atmosfer, seperti : hujan, radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, tekanan udara, angin, dan keawanan, sedangkan sifat Iklim dinyatakan sebagai keadaan rata-rata Cuaca dalam jangka waktu yang lama.
Adanya perbedaan Iklim di suatu daerah yang satu dengan daerah yang lainnya itu disebabkan oleh adanya faktor-faktor pengendali Iklim, yang terdiri dari ; ketinggian tempat, garis lintang, perbedaan tekanan, arus-arus laut, dan topografi. Pengaruh antara faktor-faktor pengendali Iklim tersebut akan diperlihatkan oleh unsur-unsur Iklim dan sebaliknya unsur-unsur Iklim itu juga akan mempengaruhi faktor-faktor pengendali Iklim. Jika hubungan timbal balik ini masih berada pada batasan yang sesuai dengan masing-masing polanya, maka akan cenderung stabil. Namun ada kemungkinan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang kerapkali menimbulkan masalah dan bencana, baik bagi tumbuhan, hewan dan manusia. Seperti halnya penyimpangan yang mengakibatkan terjadinya banjir oleh curah hujan yang terus-menerus, musim kemarau yang berkepanjangan dan perubahan suhu yang lebih panas.
Maka untuk itu, dalam artikel ini penulis mengajak kita semua untuk meyadari betapa pentingnya kita mempelajari dan memahami Ilmu Iklim dengan baik, karena sangat erat hubungannya dengan mahluk hidup dan proses kehidupan di muka bumi ini.

Minggu, 20 Mei 2012

Jangan Larang Aku Menulis


(Oleh : Poloria Sitorus)

            “Tidurlah, sudah terlalu larut!” kata suaminya.
Jarum jam sudah tiba pada angka 00.11Wib. Perempuan itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Sedangkan si suami masih di ruang depan, menonton TV, tayangan film Barat favoritnya.
            Malam ini, perempuan itu memang tampak seksi, dengan baju tidur berwarna merah muda dan tipis (agak transparan). Di dalam kamar, si istri lalu mengambil sebuah buku dan  memilih satu judul esay yang ‘sangat ingin’ dibacanya.
            Tak lama si suami datang lagi, mengetuk lalu membuka pintu meski  tanpa persetuajuan si istri. Dia menawarkan sebuah senyum “penuh arti” pada istrinya.
            “Sayangku…tidurlah! Sudah terlalu larut!” ucapnya lalu menutup pintu lagi.
            “Ya ..” si istri menjawab lembut, tak ingin berdebat lama. Si istri mengambil sebuah pena dan buku tulis. Lalu dia menulis. “Jangan Larang Aku Menulis.” Itu saja yang dia tulisi. Dan dia terus menulis, hingga kamar itu dipenuhi huruf-huruf ; (A-N-J-G-L-U-K-E-M-N-I-S-R). Huruf-huruf itu tumpah di lantai kamar, mengalir ke bawah kasur, ke bawah meja belajar, ke bawah kursi, dan ke bawah rak-rak buku, juga  ke balik lemari. Mencapai langit-langit kamar. Mendobrak ke luar dari celah-celah pintu.
            “Dreekk…dreekkk…dreeekkk…”
            “Apa itu?” Tanya si suami dalam hati.
            Belum sempat berpikir lebih jauh, timbunan huruf-huruf itu meluap tumpah memburu si suami.


(@hak cipta karya)
Oleh : Poloria Sitorus
KSI-Medan, Minggu 20 Mei 2012/00.11Wib/





Minggu, 11 Maret 2012

Getaran Pena Venny Mandasari


Getaran Pena Venny Mandasari
(Poloria Sitorus)

            “Oh Tuhan, Hilangkanlah Penyakit Dystonia-ku…”
            Begitulah kisah Venny Mandasari yang saya baca pada Rubrik Kisah Nyata “Oh My God” Majalah Say yang dikisahkan oleh Titien Say.
            Venny bergabung dengan KSI-Medan sejak beberapa tahun lalu, sekitar awal Mei 2010. Itulah awal pertama Venny datang dalam diskusi rutin KSI-Medan, di bawah rindang pohon asam, Taman Budaya Sumatera Utara. KSI-Medan adalah sebuah komunitas sastra yang melakukan diskusi rutin seputar sastra, seni dan budaya setiap Sabtu sore pkl.15.00Wib s/d pkl.18.00Wib yang dipimpin oleh seorang sastrawan dan seniman kota Medan; Idris Pasaribu.
            Pertama sekali bertemu Venny, jujur saya dan teman-teman anggota KSI-Medan lainnya sedikit merasa tidak biasa. Merasa aneh dan heran, “Mengapa Mbak Venny…tubuhnya bergetar terus..?” tanya itu dalam hati kami masing-masing, termasuk saya. Tapi saya sendiri, bersih dari jiwa, tersenyum memandangnya. Saya merasa terharu melihat keadaan fisiknya yang seperti itu. Sangat terharu sampai tersembunyikan tangis dalam hati. Namun di sisi lain, jauh terselubung di kedalaman qalbu, saya sungguh mengaguminya. Sungguh-sungguh kagum padanya. Sebab dengan segala keterbatasan fisiknya yang demikian, Venny sanggup menjadi seorang penulis yang karya-karyanya sudah banyak berkiprah meramaikan khasanah sastra, baik di Koran Lokal maupun Nasional, dan banyak juga karya-karyanya yang sudah berhasil menembus Majalah-Majalah Nasional seperti Majalah STORY, Majalah GADIS, Majalah SAY, dan lain-lain.