(Oleh : Ria Sitorus)
Di era cyber-space ini, Situs Jejaring Sosial memang seolah menjadi
kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Jejaring Sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Google+, MySpace, Badoo, Zorpia, YM, Weibo, Linkedlin, dll,
kini mampu menembus batas: ruang dan waktu, daerah, ras, golongan, usia, etnis,
agama, dan menembus segala batas yang ada. Semuanya kini seolah menjadi maya.
Di
Indonesia, seperti diungkapkan oleh Kemenkominfo bahwa pengguna internet sudah
mencapai 63 juta orang. Total 95 % menggunakan internet untuk mengakses
jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi
dan Komunikasi Publik (IKP), Selamatta Sembiring juga mengatakan, situs
jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter.
Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook
terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Dan sebagai peringkat 5 pengguna Twitter terbesar di dunia, setelah USA,
Brazil, Jepang dan Inggris. (http://kominfo.go.id/)
Jejaring
Sosial tentu saja mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Kuatnya pengaruh
kedua dampak ini tergantung bagaimana si manusia pemakai Jejaring Sosial
tersebut. Ada dua kemungkinan yang terjadi tergantung bagaimana tingkat IQ, EQ
dan SQ si pengguna Jejaring Sosial. Jika tingkat IQ, EQ dan SQ si pengguna
masih rendah atau di bawah rata-rata, maka yang cenderung terjadi adalah dampak
negatif. Si pengguna (manusia)-nya yang malah dikuasai oleh situs Jejaring
Sosial tersebut. Padahal seyogianya, sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna, manusialah yang dituntut untuk menguasai IPTEK/IT, dunia digital dan
semua perangkat/program yang ada di dalamnya.
Namun
yang sering terjadi, khususnya di Indonesia sendiri, adalah hal yang
sebaliknya. Banyak terjadi penipuan dengan modus kenalan di Jejaring Sosial
bahkan berujung hingga ke penculikan, pemerkosaan, perampokan, hypnotis, bahkan
pembunuhan. Berita-berita buruk semacam ini kerapkali menjadi ‘sarapan pagi’
masyarakat Indonesia yang disuguhkan lewat berbagai media massa seperti TV,
koran, majalah, yahoo, google, dll.
Dampak negatif
lain yang sering terjadi adalah maraknya kasus-kasus perselingkuhan dan
kehancuran bahtera rumah tangga dan kandasnya keharmonisan keluarga oleh karena
‘godaan’ dari dunia maya ini. Diawali
dari perkenalan, pertemanan hingga ke pertemuan sembunyi-sembunyi, sampai
akhirnya ‘terjerat’ oleh ke-maya-an itu. Baik kaum laki-laki dan
perempuan tentu punya andil yang sama dalam kasus ini. Analisis ini penulis
dapatkan dari pengalaman teman-teman penulis yang telah mengalaminya.
Keadaan patologi sosial yang semakin menggila di kalangan masyarakat era digital ini membuat pergeseran dan pergesekan yang sangat drastis. Beberapa pakar sosial mengistilahkannya dengan: “Menjauhkan yang dekat—dan mendekatkan yang jauh.”
Sangat
disayangkan memang jika perkembangan dan kemajuan IPTEK lebih banyak
‘menjerumuskan’ umat manusia di jaman ini.
Seharusnya
manusia mampu menguasai—sebelum dikuasai. Di sisi lain, tentu banyak
juga insan manusia yang mampu berkembang secara positif dengan memanfaatkan
perkembangan dan kemajuan teknologi, termasuk mengikuti arus informasi di dunia
IT melalui situs jejaring sosial ini. Penulis sendiri, berusaha memanfaatkan
situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter ini untuk mencari akses
komunikasi kepada para penulis lainnya. Hal ini tentu dapat membuka cakrawala
lebih luas tentang seluk-beluk dunia kepenulisan, serta bagaimana menghadapi
tantangan dunia menulis di jaman cyber-space
ini.
Salam,
Penulis :
(Poloria Sitorus) *Pemerhati Sosial-Budaya
Program S-I, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (UNIMED)
Medan, Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar