Kamis, 27 Juni 2013

OPINI--Perbudakan (dalam) Rupa Topeng



Opini________________________________________
Perbudakan (dalam) Rupa Topeng
(Oleh : Ria Sitorus)
*
Ada kegetiran yang menggetarkan dada, memilukan jiwa, saat penulis membaca sebuah “jeritan” seorang buruh yang ditulisnya dalam opini bertajuk “Ini Bukan Soal Duit, tapi Keadilan” (ANALISA/04/05/2013). Jeritan itu sangat menggugah nurani (manusia), entah bagi mereka yang nuraninya telah mati atau barangkali telah ‘digadaikan’ kepada pemilik saham asing, para pengusaha dan penguasa.
            Perbudakan telah kembali dalam rupa topeng”, inilah yang terpikirkan oleh penulis saat menyimak dalam-dalam opini yang ditulis oleh Saudari Mory Yana Gultom (seperti penulis sebutkan di atas). Mory berangkat dari fenomena ‘May Day’ yang selalu diwarnai oleh aksi-aksi demo buruh di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Dalam aksi-aksi demo para buruh tersebut, mereka menuntut; ketidakadilan bagi kaum buruh, harapan, keluhan, ketidak-setujuan, tuntutan, bahkan pemaksaan kepada pihak tertentu.
            Dengan jelas, Mory membuat rincian, mengapa buruh menolak upah murah, sebab tidak sebanding lagi dengan pengeluaran absolut. Mory juga coba membuat analogi yang sesederhana mungkin. Bagaimana jika seorang buruh diupah kurang dari 1 juta per bulan; bekerja di sebuah perusahaan dengan jam kerja lebih dari 8 jam; jarak tempuh jauh yang mengharuskan si buruh naik angkutan umum dengan tarif normal Rp.6.000; (belum termasuk jika harus naik angkot bersambung); rata-rata biaya makan per hari sekitar Rp.24.000; berarti total pengeluaran per hari Rp.30.000; Bisa dikalikan sendiri berapa per bulan, demikianlah Mory menggambarkan.
            Nah..itu baru untuk dua jenis kebutuhan saja, ongkos dan biaya makan. Belum lagi untuk kebutuhan yang lain-lain. Dan bagaimana dengan anak-istrinya. Bisa kita bayangkan jika si buruh tersebut adalah seorang ayah dari 4 orang anak, dengan istri yang tidak bekerja. Perhitungan tadi masih dalam perhitungan kasar dalam tarif normal, belum lagi jika harga BBM dinaikkan lagi oleh mereka para pemangku kekuasaan. Bagaimana imbasnya terhadap segala aspek kehidupan?
            Ya...benar sekali,” bhatin penulis sepanjang menyimak opini yang ditulis oleh Saudari Mory Yana Gultom itu.
            “Hei..saudara-saudaraku, bukankah ini sama dengan sistem perbudakan di masa silam?” Dimana buruh dipaksa dan terpaksa bekerja keras dengan mengharap belas kasihan dari para pengusaha dan penguasa, meski sesungguhnya para penguasa dan penguasa itu lebih mirip robot, sebab nurani mereka tak lagi hidup sebagaimana hakikat nurani manusia yang sesungguhnya manusia.
            Sebab mereka telah menjelma robot-robot raksasa yang kejam dan keji, lalu mereka berpikir seolah-olah para karyawan dan buruh-buruh di pabrik atau perusahaan mereka dianggap sebagai robot juga, sebab itu merupakan cerminan diri mereka. Tapi, seandainya pun mereka manganggap para buruh sebagai robot, bukankah seharusnya mereka memikirkan ‘cost’ untuk listrik dan program-program komputer bagaimana supaya robot itu bisa beroperasi?!
            Aneh memang, penulis juga agak sulit menginterpretasikan bagaimana sesungguhnya pemikiran para pengusaha itu terhadap para buruh yang mereka pekerjakan. Tapi bukankah sesungguhnya ‘balance’ –buruh butuh perusahaan; dan perusahaan juga butuh buruh untuk menjalankan operasional di perusahaan tersebut. Bukankah kalau tidak ada buruh/pekerja/karyawan atau apa pun namanya, sebuah perusahaan tidak akan bisa beroperasi dan dioperasionalkan. Apa mungkin sebuah perusahaan bisa beroperasi tanpa ada pekerja atau buruh di dalamnya? Mungkin saja bisa, tetapi itu hanya ada dalam dongeng mistik dan itu mustahil dalam kehidupan nyata. Kita manusia masih hidup di dunia dan menjejak di lapisan kulit bumi. Bukan kehidupan dunia lain yang bisa dengan kekuatan gaib dan magic.
            Kaum borjuis tidak akan pernah ada jika tidak ada kaum buruh; seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, sama halnya dengan dualisme hidup dan mati. Kita tidak bisa hidup selamanya, atau memilih mati selamanya.
            Sementara itu di halaman lain (ANALISA/04/05/2013), penulis menemukan sebuah potret kejamnya kehidupan. Sebuah berita dalam foto; “260.000 Jiwa Melayang Akibat Kelaparan di Somalia.” Apakah di Indonesia yang katanya ; “Kolamnya susu, tanahnya emas,” ini akan mengalami hal serupa dengan kelaparan yang terjadi di Mongolia? Bukan tidak mungkin—jika vampir-vampir, drakula, parasit (koruptor) terus dipelihara di negara ini.

            Anehnya, ada sebuah berita yang paling mengejutkan penulis, ternyata benar bahwa masih ada praktik perbudakan nyata yang terjadi di negeri ini. Seperti dilansir dalam Harian Media Indonesia (Minggu, 05/05/2013) “Praktik Perbudakan...” (halm.4) yang mengisahkan kasus Juki Irawan (41 thn), warga Jalan Raya Bayur Ropak, RT 3/6, Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang, seorang pengusaha kuali dan penggorengan yang menyekap 34 orang karyawannya. Dan bukan hanya itu, para karyawannya pun diperlakukan sangat tidak manusiawi.
            Menurut pengakuan seorang pekerja yang berhasil lolos dari dekapan si pengusaha, begitu mereka masuk kerja home industri itu, seluruh barang mereka seperti hp dan pakaian disita. Juki Irawan mengaku itu demi keamanan barang-barang tersebut.  Jadi selama bekerja di sana, mereka hanya menggunakan sepasang pakaian yang cuci-kering. Mandi pun mereka dengan sabun colek. Lalu setelah usai kerja dari pkl.06 s/d 20.00 wib, mereka dimasukkan ke sebuah ruangan pengap yang hanya berukuran 3 x 6 meter dan dikunci dari luar.
            Penulis berpikir, jangan-jangan Juki Irawan ini sejenis ‘binatang buas’ yang menyerupai rupa manusia. Atau barangkali dia adalah sisa-sisa keturunan geneologi Jepang yang pernah menjajah Indonesia dan melakukan praktik perbudakan yang sangat keji dalam sejarah masa lalu yang suram.
            Mengapa Juki Irawan bisa melakukan itu terhadap 34 anak manusia? Bahkan seperti dijelaskan oleh saudari Sumantri dalam rilis beritanya, ketika pemantauan ke TKP, pabrik yang menempel di rumah mewah milik Juki itu tarlihat sangat sepi. Tak satu pun petugas yang tampak di sana, meskipun tempat usaha itu sudah dipasangi garis polisi. Para tetangga Juki pun lebih memilih menutup mulut. Apa apa sebenarnya ini? Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Apa yang menyebabkan para tetangga itu memilih tutup mulut? Ada apa di balik semua ini? Mengapa juga polisi setempat seolah tidak peduli terhadap kasus ini?
            Para buruh yang berasal dari Lampung itu bekerja keras dari jam 06.00 s/d 20.00 wib dengan dijanjikan gaji Rp.600.000; per bulan. Meski selanjutnya para pekerja yang telah berhasil dikeluarkan dari dekapan si pengusaha itu mengaku, gaji mereka belum dibayar beberapa bulan ini.

(*)
ANALISA/Sabtu, 11 Mei 2013
(http://www.analisadaily.net/news/2013/15534/perbudakan-dalam-rupa-topeng/)
 
(Foto Ilustrasi/ANALISA)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar