(Oleh : Poloria Sitorus)
Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.
Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”
Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.
Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.
Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.
Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta.
Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia.
Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.
Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”
Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.
Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.
Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.
Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta.
Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia.
Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.
Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”
Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.
Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.
Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.
Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta.
Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia.
Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.”
Sumber : http://esensi.co.id/a-letter-to-my-mother.html?start=45