Jumat, 21 Desember 2012

Surat Untuk Omak

Rinduku pada-mu, Omak
(Oleh : Poloria Sitorus)

Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.

Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”

Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.

Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.

Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.

Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta. 

Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia. 

Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.

Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”

Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.

Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.

Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.

Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta. 

Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia. 

Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” Malam ini, sesuatu dalam dadaku seolah ingin pecah. Tapi tak ada tempat untuk menumpahkan segalah gundah gulana dan resahku. Omak, maafkan daku, anakmu yang penuh gelimang dosa dan kekotoran. Aku rindu padamu, Omak. Belaian dan kasih sayangmu. Sungguh rindu segala-mu, Omak. Meski sesungguhnya tak layak daku disebut anakmu. Engkau Omak, seorang ibu berhati mulia, dan jiwamu yang putih suci. Hatimu yang dengan tulus mencinta dan mengasihi daku, anakmu. Oh, sesungguhnya daku malu menyebut diriku sebagai anakmu. Sungguh tak layak. Aku sangatlah kotor dan hina. Aku sering terhempas dalam riuh lumpur kehidupan yang fana ini.

Omak..jauh darimu, bagai perahu di tengah samudera, tanpa haluan, tanpa arah. Oh, Omak, sungguh daku dalam siksa rindu yang kian meronta.
Omak, dalam rinai hujan, diriku mengirimkan doa-doa untukmu : “Semoga dalam lena—lelapmu, di sepanjang malam-malammu, Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaga bagimu. Semoga di setiap hari-harimu yang melelahkan, selama bekerja sepanjang hari di balian1), Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantu mengangkat beban dari pundakmu yang kian renta..”

Omak…betapa daku rindu, ingin kucium tanganmu yang kini dibalut oleh keriput demi perjalanan waktu yang engkau tempuh memenuhi peranmu sebagai ibu bagi kami, anak-anakmu.

Andai aku bisa memilih, untuk dilahirkan kembali—kembali ke dunia ini. Aku ingin terlahir sebagai peri. Ya, peri. Peri pendamping hidup bagimu, Omak. Ingin aku menuntun langkahmu yang kini renta dan tak berdaya, saat pulang dari sawah, di kejauhan sana, melewati pematang-pematang sawah, agar engkau tidak terjatuh, sebab cahaya redup senja mengaburkan tatapmu yang kian rabun oleh usia. Oh, Omak..andai aku bisa, aku ingin tetap memilih terlahir menjadi peri yang akan terus mendampingimu hingga di batas akhir hayatmu kelak.

Omak…engkau tahukah, betapa daku, anakmu, sungguh teramat mencintaimu, seperti cintamu padaku yang tak terbatas oleh apa pun jua. Kasih sayangmu yang tiada henti, bagai hujan malam ini yang mengirimkan air kehidupan, ungkapan kerinduan langit kepada bumi. Begitulah derai airmata yang membuncah dari kelopak mataku, ungkapan kerinduan yang mendalam padamu, Omak.

Omak… engkau dengarkah nyanyian pilu rinai hujan malam ini di kotaku? Itulah nyanyian kerinduan dan permohonan maafku atas semua salah, khilaf dan dosa-dosaku, yang pernah sengaja atau pun tak sengaja melukai mata bhatinmu Omak.. Meski kutahu, besar cinta kasihmu kepadaku Omak, sebesar cinta cahaya fajar kepada seluruh semesta. 

Dan tiba-tiba, detik ini, alam memberi tanda padaku, bahwa doa-doa dan permohonan maafku engkau dengar di kejauhan, bergema di dinding-dinding hatimu, sebab tentu detak nadiku juga berdetak di nadimu, Omak. Bukankah aku anakmu? Yang dulu, menjelma bayi kecil dalam pangkuanmu, buah cintamu. Yang dari pusat kehidupanmu disambung pusat kehidupanku jua. Meski oleh kehidupan, semua itu kemudian dengan terpaksa harus diputus—dipisahkan oleh fananya dunia. 

Tapi Omak, sekuat apa pun ke-fana-an dunia ini berusaha memisahkanku darimu, daku ini tetaplah ingin kembali dalam peluk kasihmu yang hangat mendamaikan jiwa.
Omak, engkau dengarkah? Kini, perlahan rinai hujan pun mulai melambat. Lihatlah, airmata di kelopak mataku pun kini diusap oleh kenangan, sebab kutahu betapa besar cinta kasihmu padaku. Rinai hujan di atap rumahku, kini terdengar satu-satu, menetes pelan dan lembut. Lalu diam—hening, sepertinya malam melakukan semedinya, menyampaikan doa-daoku kepadamu duhai Omakku yang terkasih, lewat mimpimu malam ini.” 


Sumber : http://esensi.co.id/a-letter-to-my-mother.html?start=45


Jumat, 12 Oktober 2012

Artikel Lingkungan


(analisa/Poloria Sitorus) Terumbu karang yang telah rusak, terdampar di pesisir pantai Sialangbuah.
Oleh: Poloria Sitorus.  
PENDAHULUAN: 
Manusia merupakan makhluk penghuni bumi yang sangat tergantung pada alam dalam pemenuhan segala kebutuhan hidupnya. Sehingga manusia sangat erat hubungannya dengan lingkungannya. Dalam proses kehidupan tersebut manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga antara manusia dengan lingkungannya terjadi respon/reaksi, baik berupa respon yang positif untuk mendukung kehidupan manusia itu sendiri, maupun respon negatif yang dapat berakibat buruk terhadap kehidupan manusia.
Jika manusia memperlakukan lingkungannya dengan baik, maka seyoginya lingkungan akan memberi respon yang baik juga, namun manusia sering kali memperlakukan lingkungan dengan tidak baik dan tidak sewajarnya, hal ini didukung oleh populasi manusia yang sangat pesat dan semakin kurangnya kesadaran akan pelestarian alam dan lingkungan hidupnya.

Disebabkan adanya interaksi yang tidak baik antara manusia dengan lingkungan, akan mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan ekologi seperti kerusakan-kerusakan tanah sebagai akibat penggunaan lahan, kebakaran hutan dan kebanjiran, serta pencemaran-pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas dengan segala aktivitas dan populasi manusia yang tumbuh sangat pesat.

Rabu, 05 September 2012

Artikel Lingkungan

            Pengaruh Iklim Terhadap Tanah & Pertanian
                            (Oleh : Poloria Sitorus)

 
Pendahuluan :
Terlebih dahulu, penulis ingin memaparkan dan menjelaskan beberapa pengertian yang perlu kita pahami secara mendasar karena akan sangat membantu proses pemahaman kita untuk selanjutnya mengkaji bagaimana sesungguhnya “Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman”. Cuaca adalah keadaan suhu rata-rata udara pada suatu daerah/wilayah yang relatif sempit dan dapat berubah-ubah dalam jangka waktu yang sangat singkat, antara 1 hingga 24 jam. Sedangkan defenisi Iklim adalah kondisi atau keadaan rata-rata cuaca dalam cakupan wilayah yang relatif luas dan perubahannya dalam jangka waktu yang lama, yaitu berkisar antara 11 tahun hingga 30 tahun.
Klimatologi dan Meteorologi sangat erat hubungannya, bahkan kadang-kadang dianggap sama, dimana Meteorologi atau Cuaca menekankan pada proses-proses fisika yang terjadi di atmosfer, seperti : hujan, radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, tekanan udara, angin, dan keawanan, sedangkan sifat Iklim dinyatakan sebagai keadaan rata-rata Cuaca dalam jangka waktu yang lama.
Adanya perbedaan Iklim di suatu daerah yang satu dengan daerah yang lainnya itu disebabkan oleh adanya faktor-faktor pengendali Iklim, yang terdiri dari ; ketinggian tempat, garis lintang, perbedaan tekanan, arus-arus laut, dan topografi. Pengaruh antara faktor-faktor pengendali Iklim tersebut akan diperlihatkan oleh unsur-unsur Iklim dan sebaliknya unsur-unsur Iklim itu juga akan mempengaruhi faktor-faktor pengendali Iklim. Jika hubungan timbal balik ini masih berada pada batasan yang sesuai dengan masing-masing polanya, maka akan cenderung stabil. Namun ada kemungkinan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang kerapkali menimbulkan masalah dan bencana, baik bagi tumbuhan, hewan dan manusia. Seperti halnya penyimpangan yang mengakibatkan terjadinya banjir oleh curah hujan yang terus-menerus, musim kemarau yang berkepanjangan dan perubahan suhu yang lebih panas.
Maka untuk itu, dalam artikel ini penulis mengajak kita semua untuk meyadari betapa pentingnya kita mempelajari dan memahami Ilmu Iklim dengan baik, karena sangat erat hubungannya dengan mahluk hidup dan proses kehidupan di muka bumi ini.

Minggu, 20 Mei 2012

Jangan Larang Aku Menulis


(Oleh : Poloria Sitorus)

            “Tidurlah, sudah terlalu larut!” kata suaminya.
Jarum jam sudah tiba pada angka 00.11Wib. Perempuan itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Sedangkan si suami masih di ruang depan, menonton TV, tayangan film Barat favoritnya.
            Malam ini, perempuan itu memang tampak seksi, dengan baju tidur berwarna merah muda dan tipis (agak transparan). Di dalam kamar, si istri lalu mengambil sebuah buku dan  memilih satu judul esay yang ‘sangat ingin’ dibacanya.
            Tak lama si suami datang lagi, mengetuk lalu membuka pintu meski  tanpa persetuajuan si istri. Dia menawarkan sebuah senyum “penuh arti” pada istrinya.
            “Sayangku…tidurlah! Sudah terlalu larut!” ucapnya lalu menutup pintu lagi.
            “Ya ..” si istri menjawab lembut, tak ingin berdebat lama. Si istri mengambil sebuah pena dan buku tulis. Lalu dia menulis. “Jangan Larang Aku Menulis.” Itu saja yang dia tulisi. Dan dia terus menulis, hingga kamar itu dipenuhi huruf-huruf ; (A-N-J-G-L-U-K-E-M-N-I-S-R). Huruf-huruf itu tumpah di lantai kamar, mengalir ke bawah kasur, ke bawah meja belajar, ke bawah kursi, dan ke bawah rak-rak buku, juga  ke balik lemari. Mencapai langit-langit kamar. Mendobrak ke luar dari celah-celah pintu.
            “Dreekk…dreekkk…dreeekkk…”
            “Apa itu?” Tanya si suami dalam hati.
            Belum sempat berpikir lebih jauh, timbunan huruf-huruf itu meluap tumpah memburu si suami.


(@hak cipta karya)
Oleh : Poloria Sitorus
KSI-Medan, Minggu 20 Mei 2012/00.11Wib/





Minggu, 11 Maret 2012

Getaran Pena Venny Mandasari


Getaran Pena Venny Mandasari
(Poloria Sitorus)

            “Oh Tuhan, Hilangkanlah Penyakit Dystonia-ku…”
            Begitulah kisah Venny Mandasari yang saya baca pada Rubrik Kisah Nyata “Oh My God” Majalah Say yang dikisahkan oleh Titien Say.
            Venny bergabung dengan KSI-Medan sejak beberapa tahun lalu, sekitar awal Mei 2010. Itulah awal pertama Venny datang dalam diskusi rutin KSI-Medan, di bawah rindang pohon asam, Taman Budaya Sumatera Utara. KSI-Medan adalah sebuah komunitas sastra yang melakukan diskusi rutin seputar sastra, seni dan budaya setiap Sabtu sore pkl.15.00Wib s/d pkl.18.00Wib yang dipimpin oleh seorang sastrawan dan seniman kota Medan; Idris Pasaribu.
            Pertama sekali bertemu Venny, jujur saya dan teman-teman anggota KSI-Medan lainnya sedikit merasa tidak biasa. Merasa aneh dan heran, “Mengapa Mbak Venny…tubuhnya bergetar terus..?” tanya itu dalam hati kami masing-masing, termasuk saya. Tapi saya sendiri, bersih dari jiwa, tersenyum memandangnya. Saya merasa terharu melihat keadaan fisiknya yang seperti itu. Sangat terharu sampai tersembunyikan tangis dalam hati. Namun di sisi lain, jauh terselubung di kedalaman qalbu, saya sungguh mengaguminya. Sungguh-sungguh kagum padanya. Sebab dengan segala keterbatasan fisiknya yang demikian, Venny sanggup menjadi seorang penulis yang karya-karyanya sudah banyak berkiprah meramaikan khasanah sastra, baik di Koran Lokal maupun Nasional, dan banyak juga karya-karyanya yang sudah berhasil menembus Majalah-Majalah Nasional seperti Majalah STORY, Majalah GADIS, Majalah SAY, dan lain-lain.

Rabu, 04 Januari 2012

"Bebaskah" Pers Kita ?

pustaka73.blogspot.com
"Bebaskah" Pers Kita ?  
      Oleh : Juhendri Chaniago



      Pers Indonesia paling bebas di Asia, benarkah? Ya, setidaknya demikianlah 
 penilaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai pers kita baru-baru 
ini (lihat: Analisa, 7/01/2009). 

      Penilaian ini tentu sangat membanggakan, khususnya bagi para insan pers 
kita yang telah bekerja keras memburu informasi demi menegakkan kebenaran dan 
keadilan. Bahkan meski dengan nyawa mereka sebagai taruhannya. 

      Tapi apakah pernyataan Presiden SBY tersebut sebagai pujian, atau malah 
kritikan bagi dunia pers kita menjelang Hari Pers Nasional nanti? Nah, 
barangkali ini bisa diartikan dengan sedikit tafsir. Ibarat kata Albert Camus: 
pers yang tidak bebas pasti buruk. Adapun pers bebas; bisa baik, bisa buruk. 

      Jadi, kalau kata "paling bebas" yang dimaksud adalah kebebasan untuk 
mempunyai dan menyatakan pendapat melalui pers, tentu ini suatu surprise bagi 
kalangan pers kita. Dan andai kata-kata tersebut sebagai motivasi terhadap 
dunia pers kita, maka teriaklah: "Hidup pers Indonesia!" Lantas, buruknya? 

      Maaf, kalau boleh kita simak sedikit perjalanan pers kita di era 
reformasi, ternyata selalu muncul wacana baru tentang kebebasan pers. Malah ada 
keluhan bahwa kebebasan pers kita sudah "kebablasan". 

      Pasalnya, tak sedikit oknum wartawan kita yang salah menafsirkan 
kebebasan pers, baik terhadap UU Pers maupun Kode Etik Wartawan Indonesia 
(KEWI) itu sendiri. Pendek kata, masih banyak wartawan yang justru melanggar UU 
Pers dan KEWI tersebut. Misalnya kasus "wartawan bodrex", "wartawan amplop", 
atau wartawan yang terlibat dalam kasus perjudian di Riau belakangan ini. 

      Nah, menyimak kenyataan ini, mampukah kebebasan pers itu menjadi jembatan 
bagi terciptanya masyarakat yang demokratis?

      ***

      Dalam The Third Wave-nya, Alvin Toffler meramalkan bahwa gelombang 
informasi akan semakin besar seiring dengan makin canggihnya teknologi 
komunikasi, yang lantas menciptakan masyarakat yang haus