Sabtu, 20 Agustus 2011

CIUMAN PERTAMA UNTUK TUHAN


CIUMAN PERTAMA

UNTUK TUHAN
(Ahmadun Y.H)

Merendehkan diri di bawah telapak kaki

Dalam tahajud paling putih dan sunyi, akhirnya

Sampai juga aku mencium Tuhan. Mungkin kaki atau telapak

Tangannya – tapi aku lebih ingin mengecup dahinya

Duhai, hangatnya sampai ke ulu jiwa.


Inilah ciuman pertamaku, setelah berabad-abad
Gagal meraihnya dengan beribu rakaat dan dahaga
Tiada kecerdasan kata-kata yang bisa menjangkaunya
Tak juga doa dalam tipu daya air mata -- Duhai Kekasih,
Raihlah jiwaku dalam hangatnya Cinta

Bertahun-tahun aku merindu, bagai Rabiah
Tiada lain kecuali merindu Engkau. Duhai Kekasih,
Tenggelamkan kini aku ke dalam cahayamu
Jakarta, Agustus 2003

SEMBAHYANG RUMPUTAN


SEMBAHYANG RUMPUTAN
(Ahmadun Y.H)

Walau kau bungkam suara azan
Walau kau gusur rumah-rumah tuhan
Aku rumputan
Takkan berhenti sembahyang
: inna shalaati wa nusuki
  wa mahyaaya wa mamaati
 lillahi rabbil 'alamin

topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi
: allahumma shalli 'ala muhammad
  ya rabbi shalli 'alaihi wa sallim

sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan habis-habisan

Walau kau tebang aku
Akan tumbuh sebagai rumput baru
Walau kau bakar daun-daunku
Akan bersemi melebihi dulu

Aku rumputan
Kekasih tuhan
Di kota-kota disingkirkan
Alam memeliharaku
Subur di hutan-hutan
Aku rumputan
Tak pernah lupa sembahyang
: sesungguhnya shalatku dan ibadahku
  hidupku dan matiku hanyalah
  bagi Allah, tuhan sekalian alam

Pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha illallah
   muhammadar rasulullah

Aku rumputan
kekasih tuhan
seluruh gerakku
adalah sembahyang

Yogyakarta, 1992

 Posting by : lara.anjani@gmail.com

Minggu, 21 Agst '11 (11.11Wib)

Kamis, 04 Agustus 2011

Kumpulan Puisi Dalam Aroma Kerinduan


Kumpulan Puisi KARYA        : POLORIA SITORUS
 

/1/ Menimang Kerinduan Pada Omak

Omak,
kali ini aku kembali
tapi tidak pulang ke rumah
bukan aku tak merindukanmu, juga aroma
dekke arsik yang selalu engkau hidangkan
menyambut pulang borumu

Aku sedang bermain di hamparan biru
walau punggung-punggung gunung menghadang
tak jua jadi penghalang
aroma kerinduan tetap tercium
bau keringatmu sehabis marbabo di balian, kagum merasuk jiwa
pematan sawah—di sana engkau rebahkan tubuh dari lelahmu

Di hamparan biru tao Toba,
aku menimang kerinduan padamu, Omak!

Tuktuk Siadong, 23 April 2010
KSI-Medan {Karya Wisata}







/2/ Tugu—Peringatan

Dari pulau itu, arwahmu memanggilku
tugu—peringatan!
lahirmu yang telah mati
di tengah biru tao Toba
aku mencium aroma tulang-belulangmu
dikukus matahari
membungkus cakrawala hati
ingatkanku gaun hitam pengantarmu
tugu itu—pertanda,
peringatan
di atas pulau Samosir
awan bagai gagak-gagak hitam
mengubur aku bersama cintamu
dihempas gelobang biru.

Tuktuk Siadong, 23 Maret 2010
Karya Wisata, KSI-Medan.
(Note : Dimuat di Harian Medan Bisnis, Minggu 02 Jan 2011)


Sajak-Sajak SAPARDI


(Sajak-Sajak SAPARDI DJOKO DAMONO)
Dalam Kumpulan Puisi : PERAHU KERTAS

PERAHU KERTAS

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau
layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu
bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki
tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar
warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-
kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-
mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan dari si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar
dan kini terdampar di sebuah bukit.”

_Sapardi Djoko Damono_


  
TAJAM HUJANMU

tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang ber-
goyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari pinggir-
pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang meng-
ganjal di tenggorokan
deras dinginmu
:
Sembilu hujanmu

_Sapardi Djoko Damono_



AKULAH SI TELAGA

akulah si telaga : berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu
biar aku yang menjaganya
_Sapardi Djoko Damono_



AKU INGIN

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu pada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
de:ngan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

_Sapardi Djoko Damono_
(1989)

Posting by : Lara Anjani
Kamis, 04 Agustus 2011/23.00Wib//