"Bebaskah" Pers Kita ?
Oleh : Juhendri Chaniago
Pers Indonesia paling bebas di Asia, benarkah? Ya, setidaknya demikianlah
penilaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai pers kita baru-baru
ini (lihat: Analisa, 7/01/2009).
Penilaian ini tentu sangat membanggakan, khususnya bagi para insan pers
kita yang telah bekerja keras memburu informasi demi menegakkan kebenaran dan
keadilan. Bahkan meski dengan nyawa mereka sebagai taruhannya.
Tapi apakah pernyataan Presiden SBY tersebut sebagai pujian, atau malah
kritikan bagi dunia pers kita menjelang Hari Pers Nasional nanti? Nah,
barangkali ini bisa diartikan dengan sedikit tafsir. Ibarat kata Albert Camus:
pers yang tidak bebas pasti buruk. Adapun pers bebas; bisa baik, bisa buruk.
Jadi, kalau kata "paling bebas" yang dimaksud adalah kebebasan untuk
mempunyai dan menyatakan pendapat melalui pers, tentu ini suatu surprise bagi
kalangan pers kita. Dan andai kata-kata tersebut sebagai motivasi terhadap
dunia pers kita, maka teriaklah: "Hidup pers Indonesia!" Lantas, buruknya?
Maaf, kalau boleh kita simak sedikit perjalanan pers kita di era
reformasi, ternyata selalu muncul wacana baru tentang kebebasan pers. Malah ada
keluhan bahwa kebebasan pers kita sudah "kebablasan".
Pasalnya, tak sedikit oknum wartawan kita yang salah menafsirkan
kebebasan pers, baik terhadap UU Pers maupun Kode Etik Wartawan Indonesia
(KEWI) itu sendiri. Pendek kata, masih banyak wartawan yang justru melanggar UU
Pers dan KEWI tersebut. Misalnya kasus "wartawan bodrex", "wartawan amplop",
atau wartawan yang terlibat dalam kasus perjudian di Riau belakangan ini.
Nah, menyimak kenyataan ini, mampukah kebebasan pers itu menjadi jembatan
bagi terciptanya masyarakat yang demokratis?
***
Dalam The Third Wave-nya, Alvin Toffler meramalkan bahwa gelombang
informasi akan semakin besar seiring dengan makin canggihnya teknologi
komunikasi, yang lantas menciptakan masyarakat yang haus
Rabu, 04 Januari 2012
"Bebaskah" Pers Kita ?
pustaka73.blogspot.com
Langganan:
Komentar (Atom)