Rabu, 04 Januari 2012

"Bebaskah" Pers Kita ?

pustaka73.blogspot.com
"Bebaskah" Pers Kita ?  
      Oleh : Juhendri Chaniago



      Pers Indonesia paling bebas di Asia, benarkah? Ya, setidaknya demikianlah 
 penilaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai pers kita baru-baru 
ini (lihat: Analisa, 7/01/2009). 

      Penilaian ini tentu sangat membanggakan, khususnya bagi para insan pers 
kita yang telah bekerja keras memburu informasi demi menegakkan kebenaran dan 
keadilan. Bahkan meski dengan nyawa mereka sebagai taruhannya. 

      Tapi apakah pernyataan Presiden SBY tersebut sebagai pujian, atau malah 
kritikan bagi dunia pers kita menjelang Hari Pers Nasional nanti? Nah, 
barangkali ini bisa diartikan dengan sedikit tafsir. Ibarat kata Albert Camus: 
pers yang tidak bebas pasti buruk. Adapun pers bebas; bisa baik, bisa buruk. 

      Jadi, kalau kata "paling bebas" yang dimaksud adalah kebebasan untuk 
mempunyai dan menyatakan pendapat melalui pers, tentu ini suatu surprise bagi 
kalangan pers kita. Dan andai kata-kata tersebut sebagai motivasi terhadap 
dunia pers kita, maka teriaklah: "Hidup pers Indonesia!" Lantas, buruknya? 

      Maaf, kalau boleh kita simak sedikit perjalanan pers kita di era 
reformasi, ternyata selalu muncul wacana baru tentang kebebasan pers. Malah ada 
keluhan bahwa kebebasan pers kita sudah "kebablasan". 

      Pasalnya, tak sedikit oknum wartawan kita yang salah menafsirkan 
kebebasan pers, baik terhadap UU Pers maupun Kode Etik Wartawan Indonesia 
(KEWI) itu sendiri. Pendek kata, masih banyak wartawan yang justru melanggar UU 
Pers dan KEWI tersebut. Misalnya kasus "wartawan bodrex", "wartawan amplop", 
atau wartawan yang terlibat dalam kasus perjudian di Riau belakangan ini. 

      Nah, menyimak kenyataan ini, mampukah kebebasan pers itu menjadi jembatan 
bagi terciptanya masyarakat yang demokratis?

      ***

      Dalam The Third Wave-nya, Alvin Toffler meramalkan bahwa gelombang 
informasi akan semakin besar seiring dengan makin canggihnya teknologi 
komunikasi, yang lantas menciptakan masyarakat yang haus